Minggu, 04 Agustus 2013

Tuhan.... Bukankah kami sama ?


          Bau tanah basah sehabis hujan menembus penciumanku. Aku suka sekali aroma ini. Segar. Dan aroma ini mengingatkan aku padanya. Seseorang yang menghilang dari kehidupanku karena perbedaan kami. Sebut saja namanya Vincent.
          “dari awal kita memang udah berbeda, Vira!”
          Setidaknya itulah kata terakhir yang pernah aku dengar darinya. Sebelum dia pergi tanpa kabar. Dialah orang pertama yang mengenalkan aku pada sesuatu bernama cinta. Cinta yang kini tak akan pernah bersatu lagi.
***
          Aku berlari kecil menuju halte terdekat. Melindungi kepalaku dari derasnya hujan bulan januari. Muka lusuh, basah kuyup, dan kedinginan. Setidaknya itulah yang bisa tertangkap dari raut wajahku saat itu. Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung. Baru aku sadari bahwa aku bukan satu-satunya di halte itu. Seorang laki-laki dengan headset terpasang ditelinganya terlihat asik menikmati lagu dari handphone dalam saku celananya. Mungkin dia merasa ada seseorang yang tengah memperhatikannya sehingga dia menoleh padaku. Dia tersenyum manis kepadaku. Aku balas tersenyum.Aku menggosok-gosok telapak tanganku. Sedikit berusaha mengurangi dingin yang begitu menusuk. Kala itu rambutku basah terurai terguyur hujan.
          “mau kemana ?” kudengar laki-laki itu bertanya. Aku menoleh, aku menunjuk diriku yang dia tangkap sebagai ‘kau bertanya padaku?’
          “memangnya yang ada di sini siapa lagi selain kau dan aku ?” kembali dia bertanya seraya tersenyum. Aku tersipu.
          “mau pulang” jawabku
          “darimana ?” tanyanya lagi
          “kerja” dia mengulurkan tangan yang kubaca sebagai ajakan perkenalan
          “Vincent”
          “vira” kami menyebutkan nama kami masing-masing. Dan senyum sepertinya masih setia terlukis di bibirnya.
          “nunggu bus juga ?” tanyaku untuk pertama kalinya
          “engga … aku bawa mobil kok.”
          “lalu apa yang kau lakukan disini ?”
          “aku menyukai aroma tanah sehabis hujan. Jadi aku nggak akan bisa menciumnya kalo di dalam rumah.”
          “ooowwh….” Gumamku. Tak terasa hujan sudah mulai mereda. Bus yang kutunggu pun sudah terlihat dari kejauhan.
          “aku duluan ya. Hujannya sudah reda”
          “mau kuantar ?” tanyanya. Aku terdiam… hampir menolak. Tapi tak sempat karna dia telah berlari menuju mobilnya. Akhirnya aku hanya bisa menurutinya. Entah aku gila atau apa. Bisa-bisanya menerima tawaran untuk diantar pulang oleh orang yang baru aku kenal 30 menit yang lalu.
***
          Senja ini menuntun langkah kakiku ke sebuah kedai kopi. Tempatku melepas penat setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang seperti tak ada habisnya. Aku duduk di dekat jendela sambil menikmati secangkir moccacinno. Memandang lampu-lampu di kejauhan yang mulai menunjukkan nyalanya ketika seseorang menyambangi meja tempatku duduk .
          “boleh duduk disini ?”
          “Vincent? Tentu” jawabku mantap. Entah kenapa aku senang sekali melihat Vincent kembali.
          “menunggu siapa?”
          “engga ada. Kamu ?”
          “menunggu kebetulan ini” jawabnya santai sambil tersenyum
          “ha?” tanyaku heran. Dia malah terkekeh mendengar ucapanku barusan.
          “iya… aku menunggu kesempatan untuk bertemu denganmu lagi. “ lanjutnya. Aku hanya mampu tersipu mendengarnya.
          “apakah ada yang marah jika aku ingin bertemu denganmu lagi suatu saat ?” tanyanya .
          “menurutmu siapa yang akan marah ?”
          “entahlah. Pacarmu mungkin ?”
          “sepertinya tidak ada lelaki yang mau bicara pada gadis aneh sepertiku kecuali kau “ jawabku sambil terkekeh
          “menurutku kau tak terlihat seperti orang aneh “ ujarnya dengan nada serius. Aku menghentikan tawaku
          “apa namanya gadis yang mau diantar pulang oleh lelaki yang baru dikenalnya selama 30 menit? “
          “lalu apa namanya lelaki yang mau mengantarkan pulang gadis yang baru dikenalnya selama 30 menit ?”
          Lalu tawa kami meledak. Sejak itu kami tau bahwa kami mempunya ketertarikan yang sama. Ada saja kebetulan yang mempertemukan kami. Obrolan yang terjadi selalu berlangsung hangat dan penuh tawa. Perasaan nyaman saat bisa menatap wajahnya dan menyentuhnya. Kami tau kami saling mencintai tanpa harus ada kata cinta terucap. Kami saling menyayangi. Saling ingin menjaga hati dan perasaan. Hingga suatu hari, kebetulan yang tidak diinginkan itu terjadi.
***
          Sabtu sore. Senja itu aku melangkahkan kakiku keluar dari mushola sehabis menunaikan shalat asyar. Ketika aku melihat sebuah mobil yang  tak asing bagiku. Mobil Vincent. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Dan benar saja, aku melihatnya dari kaca jendela yang terbuka.
          “Vincent “ sapaku
          “apa yang kau lakukan disini?” sambungku
          Vincent yang kutanyai malah diam menganga. Dia lalu keluar dari mobil. Kuajak dia duduk di bangku taman tak jauh dari situ. Tak lepas matanya memandang jilbab yang kukenakan dan mukena yang kubawa. Entahlah. Aku merasa ada yang ganjil. Hatiku merasa ada sesuatu yang beda. Lama kami diam tanpa sepatah kata terucap. Aku menunggunya membuka percakapan seperti biasanya.
          “Vincent”
          “vira” kami bicara bersamaan. Aku tersenyum. Tapi dia tidak. Dan aku semakin merasakan atmosfer yang sama sekali berbeda dari biasanya. Kutunggu dia bicara. Tapi tak kunjung seuntai kata terucap.
          “Vincent , kamu ngapain disini ?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
          “sebenernya, tadi aku mau ke rumah kamu tapi aku nggak tau karna selama ini aku hanya mengantarmu sampai gang depan. “ jawabnya
          “kebetulan ya kita ketemu di depan mushola.” Kataku sambill tersenyum. Berharap melihat senyum yang selama ini kurindukan. Dan memang aku melihatnya tersenyum. Tapi ada sedikit getir yang terlihat disana. Kembali kami terhanyut dalam diam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Lalu aku kembali membuka pembicaraan. Ini benar-benar tak seperti biasanya.
          “kenapa ? ada masalah ? tak ingin bercerita padaku ?” tanyaku
          “entahlah. Kurasa aku harus pergi” katanya seraya bangkit berdiri. Tak sengaja sesuatu terjatuh dari sakunya. Dia berhenti. Aku lalu mengambil kunci mobil yang jatuh dari sakunya. Dan kerongkonganku tercekat saat aku melihat salib tergantung disana. Aku tak mampu berkata apapun. Hingga aku sadar, mungkin ini yang membuat sikap Vincent berubah sejak bertemu aku tadi di depan mushola.
          “boleh kuminta ?” Tanyanya.
          Kuserahkan kunci itu padanya . dan dia berlalu. Aku masih tertegun memandang bayangannya yang kian hilang ditelan senja. Entahlah. Apa aku masih bisa melihatnya kembali esok dengan suasana yang sama seperti biasanya. Aku berbalik pulang dengan langah gontai. Aku bercerita pada ibuku tentang perbedaan kami. Dan beliau menentang keras hubungan kami untuk terus berlanjut.  Aku menyesal baru mengetahui semua ini setelah aku terlanjur mencintainya. Selama ini memang banyak hal yang kami bicarakan. Tapi religi bukan salah satunya.
          Malam itu, kugelar sajadahku di sepertiga malam terakhir. Kutumpahkan semua isi hatiku pada Sang Maha Pencipta. Mulutku sama sekali tak bisa berbicara. Tapi aku yakin Tuhan memahami arti air mataku.
          Tuhan, bukankah kami sama dihadapanMu ? bukankah kami sama-sama mengingatMu walaupun dengan cara dan tempat yang berbeda?
***
          Tiga bulan berlalu sejak terungkapnya identitas kami masing-masing. Tiga bulan pula tak kutemui sosok Vincent di halte bus ataupun kedai kopi atau taman dan tempat lain dimana kami biasa bertemu. Pesanku tak pernah dibalasnya , telepon dariku tak pernah dijawabnya, tak pula ku tau dimana alamatnya. Aku hanya ingin tau bagaimana kejelasan hubungan kami. Lalu aku tersadar, sejak awal memang tak pernah ada kata cinta terucap di antara kami. Tapi setidaknya persahabatan tak pernah memandang perbedaan religi, bukan?
          Vincent ….. ketahuilah bahwa namamu tak pernah luput dari doaku dalam setiap sujudku padaNya. Dan aku yakin kaupun senantiasa menyebut  namaku dalam setiap doamu di gereja.
***
          Kulangkahkan kakiku menembus hujan sore itu sepulang bekerja. Aku berteduh di halte tempat pertama kali aku bertemu Vincent.
          Masih dalam hujan yang sama . . . dingin yng sama … bau tanah basah yang sama . . . tapi suasana yang berbeda. Kuketatkan jaket yang kukenakan agar sedikit mengurangi hawa dingin. Kumainkan ujung jilbabku yang kini ku kenakan sebagai identias bahwa aku adalah seorang muslimah. Atau entahlah, mungkin aku tak ingin kejadian yang sama terulang kembali seperti aku dan  Vincent.Lama aku hanyut dalam anganku sendiri. Sampai suara yang sangat aku kenal merusak khayalanku.
          “Vincent?”
          “hai… “ senyum yang sama kembali terukir di bibirnya, senyum yang selalu kunantikan. Terlihat kalung berliontin salib panjang terjuntai di lehernya.
          “baru pulang kerja ?” sambungnya
          “sejak kapan kau disini ?” aku balik bertanya.
          “ sejak kau mempermainkan ujung jilbabmu yang basah itu” jawabnya. Dan kegetiran itu kembali terlihat di matanya.
          “mau kuantar pulang ?” kembali ia bertanya. Aku masih diam. Tapi dia tak eburu berlari ke mobilnya.
          “trimakasih, sepertinya lain kali saja. Bus yang ku tunggu sudah datang. Sampai jumpa.” Kulemparkan senyumku padanya. Dia hanya terdiam. Entahlah. Apakah lain kali yang kubilang tadi akan ada atau tidak.
          Tuhan , aku tau aku dan Vincent berbeda. Dan aku pun tau Kau akan berikan padaku semua yang terbaik.